Sesuai dengan jiwa self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya.
Produk akhir dari sistem ini adalah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) oleh
Wajib Pajak. Dengan demikian, SPT merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus
pelaporan kewajiban self assessment
tersebut.
Ketika, misalnya, seseorang (subjek pajak)
memperoleh penghasilan yang berdasarkan hukum pajak materiil (UU PPh) terutang
pajak (sehingga ia disebut Wajib Pajak) berdasarkan sistem tersebut,
selanjutnya Ia menghitung sendiri berapa pajak yang menjadi kewajibannya,
membayarnya ke Kas Negara, memperhitungkannya sekaligus melaporkannya pada
akhir masa pajak melalui SPT. Aktivitas tersebut dilaksanakan
dengan tidak menggantungkan kepada adanya surat ketetapan pajak.
Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak tidak
berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas semua SPT yang
disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas
kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian
SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib
pajak.
Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa ketika SPT
disampaikan oleh Wajib Pajak SPT tersebut “dianggap” benar (artinya jumlah
pajak yang terutang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan), kecuali DJP mempunyai bukti lain, DJP berwenang menetapkan jumlah
pajak terutang yang semestinya. Bukti tersebut bisa diperoleh DJP berdasarkan
hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain (Pasal 12 UU KUP).
Apabila dalam jangka
waktu 10 tahun DJP tidak mempunyai bukti dimaksud yaitu tidak dilakukan
pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain, SPT yang telah disampaikan oleh WP
tersebut dinyatakan benar dan mempunyai ketetapan hukum yang pasti.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar