Jumat, 20 Juni 2014

SURAT KETETAPAN PAJAK


Sesuai dengan jiwa self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Produk akhir dari sistem ini adalah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak. Dengan demikian, SPT merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus pelaporan kewajiban self assessment tersebut.

Ketika, misalnya, seseorang (subjek pajak) memperoleh penghasilan yang berdasarkan hukum pajak materiil (UU PPh) terutang pajak (sehingga ia disebut Wajib Pajak) berdasarkan sistem tersebut, selanjutnya Ia menghitung sendiri berapa pajak yang menjadi kewajibannya, membayarnya ke Kas Negara, memperhitungkannya sekaligus melaporkannya pada akhir masa pajak melalui SPT. Aktivitas tersebut dilaksanakan dengan tidak menggantungkan kepada adanya surat ketetapan pajak.

Dengan demikian, Direktur Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas semua SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.

Konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa ketika SPT disampaikan oleh Wajib Pajak SPT tersebut “dianggap” benar (artinya jumlah pajak yang terutang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan), kecuali DJP mempunyai bukti lain, DJP berwenang menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya. Bukti tersebut bisa diperoleh DJP berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain (Pasal 12 UU KUP). 

Apabila dalam jangka waktu 10 tahun DJP tidak mempunyai bukti dimaksud yaitu tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain, SPT yang telah disampaikan oleh WP tersebut dinyatakan benar dan mempunyai ketetapan hukum yang pasti.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar