Minggu, 07 Desember 2014

PENYUSUTAN MENURUT PERATURAN PAJAK


Salah satu biaya usaha yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, saat menghitung penghasilan kena pajak, adalah biaya Penyusutan. Meski secara umum sama dengan prinsip akuntansi yang lazim (SAK) namun sebenarnya peraturan pajak memiliki ketentuan tersendiri dalam soal penghitungan biaya Penyusutan.


Ketentuan Umum

Melalui ketentuan Pasal 9 ayat (2), UU PPh secara tegas menyatakan bahwa pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
Pasal 11 UU PPh secara umum berisi ketentuan mengenai penyusutan untuk harta berwujud sedangkan Pasal 11A UU PPh berisi ketentuan mengenai amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud termasuk HGB, HGU, Hak Pakai, Goodwill, dan harta atau asset tak berwujud lainnya.
Namun perlu diketahui bahwa terkait dengan masalah penghitungan penyusutan dan amortisasi fiskal ini, ketentuan pajak atau ketentuan fiskal tidak seluruhnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada dalam prinsip akuntansi umum (Standar Akuntansi Keuangan/SAK).  Secara khusus, otoritas pajak telah menetapkan beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturan-peraturan berikut (yang masih berlaku sampai saat artikel ini ditulis):
  • Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh;
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2009; dan
  • PMK Nomor 249/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 126/PMK.03/2012.

Prinsip Usia atau Masa Manfaat Harta

Perbedaan pertama antara peraturan fiskal dengan SAK, terkait dengan penentuan apakah harta tersebut boleh dibebankan atau dibiayakan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau harus melalui penyusutan/amortisasi.
Dalam SAK, kita telah tahu bahwa penetapan mengenai hal ini diserahkan sepenuhnya kepada manajemen perusahaan. Artinya manajemen, oleh SAK dibolehkan untuk menentukan bahwa pengeluaran tersebut dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau biaya. Biasanya manajemen akan memilih membebankan sekaligus terutama jika nilai atau materialitasnya tidak terlalu besar.
Tetapi menurut ketentuan fiskal, sebagaimana bisa kita baca pada redaksional kalimat Pasal 9 ayat (2) UU PPh, pengeluaran atau biaya usaha yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak boleh dibebankan sekaligus. Pengeluaran atau biaya tersebut harus dibebankan melalui penyusutan/amortisasi yang ketentuannya diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh.
Sebagai contoh misalnya pada tahun 2012 Wajib Pajak membeli ordner, whiteboard, dan perkakas kecil lainnya untuk dipakai dalam kegiatan operasional usaha sehari-hari. Menurut SAK, karena nilai dari perkakas kantor tersebut tidak terlalu besar, maka seluruh harga pembelian perkakas itu boleh dibebankan sekaligus pada tahun 2012.
Akan tetapi secara fiskal, harga beli perkakas tersebut seharusnya tidak dibebankan sekaligus sebagai biaya di tahun 2012 tetapi dibebankan secara bertahap sesuai dengan umur atau masa manfaat perkakas yang bersangkutan. Dalam praktik pemeriksaan, ada kalanya kita menghadapi pemeriksa pajak yang ‘saklek’ dengan ketentuan tersebut. Tetapi tidak sedikit juga pemeriksa yang bisa mengakomodir ketentuan SAK terutama jika menurut pemeriksa pajak nilai perkakas tersebut tidak terlalu material.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar