Penghasilan dari persewaan tanah dan bangunan merupakan
satu dari sekian banyak penghasilan yang pengenaan PPh-nya ditetapkan bersifat
final. Peraturan yang menjadi rujukannya hingga saat ini adalah Pasal 4 ayat
(2) UU PPh dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 yang terakhir kali
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002.
Selain Peraturan Pemerintah
tersebut, peraturan lain yang terkait adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
Nomor 120/KMK.03/2002 yang merupakan perubahan dari KMK Nomor 394/KMK.04/1996,
dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 227/PJ/2002.
Penghasilan yang dijadikan objek PPh
Final dalam konteks ini adalah penghasilan berupa imbalan sewa atas tanah
maupun bangunan. Sesuai dengan ketentuan dan peraturan di atas, yang dimaksud
dengan bangunan adalah bangunan berupa rumah, rumah susun,
apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor,
toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri.
Terkait dengan kalimat ‘...termasuk bagiannya..’ yang
ada di KMK maupun KEP tersebut, SE-22/PJ.4/1996 menjelaskan bahwa bagian dari
gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan, termasuk areal baik di dalam
maupun di luar gedung yang merupakan bagian dari gedung tersebut.
Subjek Pemotong
PPh
Pengenaan PPh Final atas persewaan
tanah dan bangunan dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Apalagi
jika penyewa berstatus sebagai badan/lembaga pemerintah, Subjek Pajak badan
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT/permanent establishment), kerjasama
operasi, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang berada di
Indonesia.
Orang pribadi dalam negeri, juga
wajib melakukan pemotongan PPh Final persewaan tanah dan bangunan ini jika yang
bersangkutan sudah mendapat Surat Keputusan (SK) sebagai subjek pemotong PPh
Final persewaan tanah dan bangunan, dari kantor pajak tempat orang pribadi
tersebut terdaftar.
Tarif PPh Final
Besarnya tarif PPh Final untuk
persewaan tanah dan bangunan adalah 10% (sepuluh persen). Tarif ini secara umum
diberlakukan untuk seluruh Subjek Pajak dalam negeri, baik orang pribadi maupun
badan. Artinya meskipun pihak yang menyewakan berstatus sebagai orang pribadi
(bukan WP badan dalam negeri), tetap dikenakan tarif 10%.
Tarif sebesar 10% tersebut tetap
diberlakukan meskipun pihak yang menyewakan tidak memiliki NPWP. Selain karena
tidak ditegaskan secara eksplisit dalam peraturan-peraturan di atas, pendapat
atau alasan mengapa tarif tersebut tidak dinaikkan terhadap pihak yang tidak
mempunyai NPWP karena kenaikan tarif secara umum hanya berlaku untuk pengenaan
PPh yang tidak bersifat final.
Selain itu, tarif PPh final 10%
tersebut seharusnya juga hanya diterapkan jika pihak yang menyewakan tanah dan
bangunan berstatus sebagai Subjek Pajak dalam negeri (orang pribadi maupun
badan). Jika pihak yang menyewakan tanah dan bangunan berstatus sebagai Subjek
Pajak luar negeri, maka seharusnya tarif yang dikenakan adalah tarif sesuai
Pasal 26 UU PPh. Dan jika pihak yang menyewakan berasal dari negara mitra tax
treaty partner, tarif yang diterapkan disesuaikan dengan ketentuan yang ada
dalam tax treaty yang
bersangkutan.
Dasar Pengenaan
Pajak
Dasar Pengenaan Pajak (DPP), atau
nilai yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung PPh final persewaan tanah
dan bangunan adalah jumlah bruto nilai persewaan.
Menurut Pasal 1 KEP-227/PJ/2002,
yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan meliputi semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang berkaitan dengan tanah maupun bangunan yang disewa, termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah
maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, besarnya PPh final
persewaan tanah dan bangunan yang terutang dihitung sebesar = 10% x (nilai sewa
+ service charge).
Misalnya PT ABC menyewa gedung milik
PT XYZ. Dalam perjanjian/kontrak disebutkan bahwa nilai sewa gedung setiap
bulan sebesar Rp 10.000.000,00 sedangkan service
charge yang ditagihkan kepada tenant
disesuaikan dengan pemakaian tenant
tersebut. Kemudian dalam bulan Nopember 2012, pemakaian listrik, telepon, air
dan service charge oleh PT ABC
dinilai sebesar Rp 15.000.000,00. Dalam hal ini, PPh final yang terutang untuk
bulan Nopember 2012 dan harus dipotong oleh PT ABC adalah = 10% x (Rp
10.000.000,00 + Rp 15.000.000,00) = Rp 2.500.000,00.Misalnya PT ABC menyewa
gedung milik PT XYZ. Dalam perjanjian/kontrak disebutkan bahwa nilai sewa
gedung setiap bulan sebesar Rp 10.000.000,00 sedangkan service charge yang ditagihkan kepada tenant disesuaikan dengan pemakaian tenant tersebut. Kemudian dalam bulan Nopember 2012, pemakaian
listrik, telepon, air dan service
charge oleh PT ABC dinilai sebesar Rp 15.000.000,00. Dalam hal ini, PPh
final yang terutang untuk bulan Nopember 2012 dan harus dipotong oleh PT ABC
adalah = 10% x (Rp 10.000.000,00 + Rp 15.000.000,00) = Rp 2.500.000,00.
Ketentuan Reimbursable Items
Dalam praktik sering dijumpai modus
di mana kontrak sewa dan kontrak service
charge di buat secara terpisah. Ini dilakukan dengan maksud agar service charge, yang pada umumnya
memang hanya bersifat reimbursement
items, tidak ikut dipotong PPh final 10%. Akan tetapi dengan adanya
pernyataan dalam Pasal 1 KEP-227/PJ/2002 di atas, upaya memisah perjanjian
tersebut dipastikan tidak akan membawa hasil. Sebab seperti dinyatakan dalam
Pasal 1 tersebut, service charge
tetap menjadi bagian dari DPP PPh final persewaan tanah dan bangunan meskipun
kontrak/perjanjiannya dipisah dengan kontrak/perjanjian sewa.
Selain karena penegasan Pasal 1
KEP-227/PJ/2002, ketentuan mengenai reimbursable
items sendiri juga sulit untuk dipenuhi. Seperti dapat kita jumpai
di banyak surat jawabannya kepada Wajib Pajak yang menanyakan soal reimbursable items, Dirjen Pajak
menegaskan bahwa reimbursement
yang tidak dikenakan PPh adalah jika memenuhi persyaratan berikut:
- Dokumen dari pihak ketiga, misalnya dari PLN, harus atas nama penyewa atau tenant;
- Dokumen dari pihak ketiga tersebut harus diserahkan kepada penyewa atau tenant;
- Nilai yang diganti atau diminta penggantiannya tidak boleh melebihi atau kurang dari jumlah yang tercantum di dokumen pihak ketiga tersebut; dan
- Ada klausul mengenai reimbursable items dalam kontrak/perjanjian.
Pelunasan Melalui Pemotongan
Jika pihak penyewa tanah dan
bangunan berstatus sebagai pemotong PPh, seperti disebutkan di awal artikel
ini, maka pelunasan PPh final dilakukan melalui pemotongan PPh final oleh pihak
penyewa. Selanjutnya, subjek pemotong wajib menyetorkan dan melaporkan
pemotongan PPh final tersebut dalam jangka waktu yang sudah ditetapkan.
- Saat Pemotongan
PPh final persewaan tanah dan
bangunan harus dipotong dalam bulan dilakukannya pembayaran atau bulan
diakuinya utang/biaya sewa, mana yang terjadi lebih dahulu. Misalnya pada
tanggal 20 Nopember 2012 PT ABC menerima tagihan sewa kantor dari PT XYZ dan
langsung mencatatnya sebagai biaya dan utang. Sedangkan pembayaran akan
dilakukan pada awal bulan Desember 2012. Dalam hal ini, meski pada bulan
Nopember 2012 belum ada pembayaran terhadap tagihan tersebut, tetapi PPh final
atas sewa kantor sudah terutang dan harus dipotong pada bulan (masa pajak)
Nopember 2012. Dalam hal ini, PT ABC wajib membuat Bukti Pemotongan PPh Final
dan menyerahkannya kepada PT XYZ. Bukti pemotongan ini nantinya berlaku sebagai
bukti pelunasan PPh final bagi PT XYZ.
- Saat Penyetoran
PPh final yang sudah dipotong dalam suatu bulan (masa
pajak) harus disetorkan melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro, paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya. Misalnya PT ABC di atas,
wajib menyetorkan PPh final yang sudah dipotong di bulan Nopember 2012 tadi
paling lambat pada tanggal 10 Desember 2012.
Seandainya tanggal 10 tersebut
ternyata jatuh pada hari libur, termasuk hari Sabtu, atau hari libur nasional,
maka sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.03/2007,
penyetoran bisa dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilu dan cuti bersama nasional yang ditetapkan oleh
pemerintah.
- Saat Pelaporan
PPh final yang terutang dalam suatu bulan (masa pajak)
harus dilaporkan ke KPP tempat penyewa terdaftar paling lambat pada tanggal 20
(dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh final. Pelaporan
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04. Misalnya
PT ABC di atas, wajib melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) Masa Pajak
Nopember 2012 ke KPP-nya paling lambat pada tanggal 20 Desember 2012.
Jika tanggal 20 tersebut jatuh tepat
pada hari libur, termasuk hari Sabtu, maka sesuai Pasal 8 PMK Nomor
184/PMK.03/2007, pelaporan SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan hari libur nasional termasuk hari yang
diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilu dan cuti bersama nasional yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Penyetoran
Sendiri
Apabila penyewa bukan pemotong PPh final, misalnya
penyewa orang pribadi atau tidak punya NPWP, maka pihak yang menyewakan yang
menerima penghasilan sewa wajib menyetorkan sendiri PPh final tersebut dan
melaporkan SPT Masanya ke KPP tempat yang bersangkutan terdaftar.
- Saat Penyetoran
Penyetoran sendiri PPh final wajib dilakukan paling
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) pada bulan berikutnya setelah bulan terutangnya
PPh final. Dalam hal ini, bulan terutangnya PPh final adalah pada bulan
diterimanya pembayaran atau bulan ditagihkannya imbalan sewa. Penyetoran
menggunakan SSP yang berlaku sebagai bukti pelunasan PPh final persewaan tanah
dan bangunan.
Misalnya Bambang menyewakan rumah miliknya kepada Bagus
yang tidak mempunyai NPWP. Pada tanggal 25 Nopember 2012 misalnya Bambang sudah
menyerahkan kuitansi tagihan kepada Bagus tetapi pembayaran baru dilakukan
Bagus pada awal Desember 2012. Dalam hal ini, seharusnya PPh final sudah
terutang di bulan Nopember 2012 dan harus disetorkan sendiri oleh Bambang
paling lambat tanggal 10 Desember 2012.
Seandainya tanggal 10 tersebut ternyata jatuh pada hari
libur, termasuk hari Sabtu, atau hari libur nasional, maka sesuai Pasal 3 Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184/PMK.03/2007, penyetoran bisa dilakukan pada
hari kerja berikutnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hari libur nasional
termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilu dan cuti bersama
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Saat Pelaporan
PPh final yang terutang dalam suatu bulan (masa pajak)
harus dilaporkan ke KPP tempat penyewa terdaftar paling lambat pada tanggal 20
(dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh final. Pelaporan
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)—kode formulir F.1.1.32.04.
Misalnya Bambang dalam contoh di atas, wajib melaporkan
SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2) Masa Pajak Nopember 2012 ke KPP-nya paling lambat
pada tanggal 20 Desember 2012.
Jika tanggal 20 tersebut jatuh tepat pada hari libur,
termasuk hari Sabtu, maka sesuai Pasal 8 PMK Nomor 184/PMK.03/2007, pelaporan
SPT Masa dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilu dan cuti bersama nasional yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam praktik pemeriksaan pajak,
jika pihak yang menyewakan tidak bisa memperlihatkan kepada pemeriksa bukti
pemotongan PPh final dari penyewa, biasanya pihak yang menyewakan akan
dikenakan sanksi untuk menyetor kembali PPh final yang terutang. Bahkan
seringkali ditambah dengan sanksi bunga keterlambatan setor jika memang terjadi
keterlambatan penyetoran. Oleh karena itu, penting sekali bagi pihak penyewa
untuk memberikan bukti pemotongan PPh final kepada pihak yang menyewakan
apabila pihak penyewa tersebut telah memotong PPh final.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar