Kamis, 10 Juli 2014

HUBUNGAN ISTIMEWA


     1.   Pengertian hubungan istimewa :

Di dalam praktik seringkali terjadi suatu badan usaha bertransaksi dengan badan usaha lainnya, sedangkan keduanya masih dalam satu kelompok usaha. Dalam hal demikian, tidak menutup kemungkinan terjadi transaksi hubungan istimewa yang tidak wajar. Untuk itu, Pasal 18 UU PPh telah memberikan batasan tentang hubungan istimewa, yaitu hubungan istimewa dianggap ada apabila:


a.   Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

Misalnya,   PT A mempunyai 50% saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25%. Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% saham PT D, antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

b.   Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.

2.  Konsekuensi dalam Transaksi Hubungan Istimewa :

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

b.  Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu.tersebut berakhir.

c.   Pengeluaran dengan jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (lihat Pasal 9 ayat 1 huruf f UU PPh atau pembahasan sebelumnya di Non Deductible Expense)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar